PEMUDA ASING DARI TEPIAN JAMAN
Pagi itu aku jadi bagian dari
kerumunan manusia sakit yang duduk menunggu jatah obat BPJS (Askes) di RSUD
Tidar, Magelang. Orang sepuh, ibu-ibu, bapak-bapak, ada Mas dan Mbak, juga
balita dalam gendongan ibunya. Pandangan mataku tertambat pada seorang pemuda
berpenampilan unik. Kopiah hitam, berjenggot, berkain sarung, bagian atasnya
ditutup kemeja panjang sampai lutut (khomis = gamis). Walau wajahnya amat
tampan dan bersih, penampilannya seperti manusia
kuno dari masa lalu, pemuda asing dari tepian jaman.
Singkat kata dia duduk disebelahku.
Ternyata pemuda yang penampilannya sering jadi bahan bully, dengan istilah
ISLAM KAFFAH itu amat ramah. Pembicaraan kami mengalir dengan cair dari topik
ke topik. Selama itu pula kucoba untuk menemukan tanda2 ke-ekstrim-an, bicara
keras menggebu atau nada marah dan meng-kafir-kan orang lain. tapi upayaku
sia-sia belaka.
Katanya : "Kawula saking Payaman, Pak. Panci aseli saking mrika."
Kutanya : "Saking pondok Sirajul Mukhlasin ? Murid ipun Mbah Kyai Mukhlisun
? Tergabung wonten Jama’ah Tabligh ?"
"Ah,
kawula namung tiyang aseli, Payaman," jawabnya agak diplomatis.
Ndilalah kersaning Allah, lewatlah
di depan kami 2 orang wanita berpakaian “Jilboob”. Tertutup rapet, no aurat
exposed, tapi bajunya ketat sehingga bentuk tubuh mereka tercetak dengan amat
akurat. Kulirik pemuda itu, atau tepatnya kuselidiki apakah matanya menjadi
nanar melihat sedekah aurat di depannya. Ternyata dia biasa saja, seperti tak
ada hal yang menggumunkan.
Dengan penasaran kupancing dia dengan pertanyaan vulgar : “Kados pundi nggih, Mas. Mbak-mbak kekalih punika, nggih rapet, ning kok methethet ngantos nyithak cetha wela-wela.”
Lalu dia menjawab dengan sareh : ‘Nggih, mboten dados punapa. Sampun wonten usaha kagem nutup aurat. Punika sampun kelebet sae. Nek wonten kekirangan ipun, mbok menawi namung pemahamanipun ingkang dereng dumugi.”
Dengan penasaran kupancing dia dengan pertanyaan vulgar : “Kados pundi nggih, Mas. Mbak-mbak kekalih punika, nggih rapet, ning kok methethet ngantos nyithak cetha wela-wela.”
Lalu dia menjawab dengan sareh : ‘Nggih, mboten dados punapa. Sampun wonten usaha kagem nutup aurat. Punika sampun kelebet sae. Nek wonten kekirangan ipun, mbok menawi namung pemahamanipun ingkang dereng dumugi.”
(asem
tenan, kenapa gua jadi mendadak malu dan hormat dengan akhlak pemuda dari tepi
jaman itu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar