Say NO to Khilafah. Kita adalah negara Panca Sila.
Barangsiapa masih bermimpi tentang khilafah, silahken minggat dari Nusantara,
jadilah onta2 dungu di padang pasir. Itulah seruan sebagian
masyarakat tentang Khilafah Islamiyah yang serem. Bayangkan, big brotha,
pencuri ditugel tangane, pezina dicambuk pakek cambuknya Indiana Jones sampek
robek2 gegernya dan ada pula hukuman rajam. Dibandem watu sampek modiar
(stoning to death). Benarkah khilafah itu mungsuhnya Panca Sila ? Ini ada
cerita pengantar nggarap PR matematika yang syahdu.
Sama seperti kekhalifahan dan
kerajaan Islam sebelumnya, Turki Utsmani juga menunjukkan perhatian yang besar
dan pengakuan hak-hak non-muslim di wilayah mereka. Prinsip ini telah
dituntunkan oleh syariat Islam, bagaimana hendaknya interaksi negara kepada
non-muslim. Mereka dilindungi, diberikan kebebasan beragama, dan bebas dari
penganiayaan. Di antara pengaturan yang pertama dibuat adalah Perjanjian Umar
ibn al-Khattab yang menjamin orang-orang Nasrani di Jerusalem dengan kebebasan
beragama dan keselamatan. Hal yg amat berbeda ketika kaum agama X merebut
Yerusalem dari kaum musliman dan disusul dengan pembantaian masal.
Pengaturan dan undang-undang hak masyarakat non
muslim ini pun segera dipraktikkan oleh Sultan Muhammad al-Fatih ketika
menaklukkan Konstantinopel tahun 1453 dengan mayoritas komunitas Nasrani-nya.
Sejarah mencatat, Konstatinopel adalah pusat Kristen Ortodoks dunia dan masih
memiliki populasi yang besar. Sebagai sebuah kerajaan yang wilayah kekuasaannya
meluas hingga Eropa, semakin bertambah pula non muslim yang berada dalam
otoritas Turki Utsmani. Sebagai contoh, pada tahun 1530, lebih dari 80% rakyat
Turki Utsmani di Eropa adalah non muslim. Untuk mengatur ini, Sultan Muhammad
menerapkan sistem baru yang kemudian dikenal dengan sistem millet.
Setiap agama terakomodir dengan sistem ini. Millet
berasal dari kata bahasa Arab yang berarti “bangsa”, hal ini menunjukkan bahwa
Turki Utsmani menyatakan bahwa mereka adalah pelindung bangsa-bangsa yang ada
di dalam pemerintahannya. Setiap agama dianggap millet sendiri, dengan beberapa
millet yang ada di kesultanan. Sebagai contoh, semua orang Kristen Ortodoks di
Kekaisaran Ottoman dianggap sebagai merupakan millet, sementara semua orang
Yahudi merupakan millet lain. Ke BHINNEKA an berbagai millet tak menghalangi
diterapkannya keadilan bagi seluruh penduduk (TUNGGAL IKA)
Setiap millet diizinkan untuk memilih TOKOH AGAMA
sendiri untuk memimpin mereka. Dalam kasus Gereja Ortodoks (Gereja terbesar di
Kekaisaran Ottoman), Patriark Ortodoks (Uskup Agung Konstantinopel) adalah
pemimpin terpilih millet. Para pemimpin millet diizinkan untuk menegakkan
aturan agama mereka sendiri pada orang-orang mereka. Hukum Islam (Syariah) TIDAK
memiliki wewenang hukum atas non-Muslim di Kekaisaran Ottoman.
Dalam kasus kejahatan, orang akan dihukum sesuai
dengan aturan agama mereka sendiri, bukan syariat Islam atau hukum agama
lainnya. Sebagai contoh, jika seorang Kristen terbukti mencuri, dia akan
dihukum sesuai dengan hukum Kristen dalam masalah pencurian. Jika seorang
Yahudi yang mencuri, dia harus dihukum sesuai dengan hukum Yahudi, dll. Syariat
hukum Islam akan diterapkan jika yang melakukan pidana adalah seorang Muslim,
atau ketika ada kasus yang melibatkan dua orang dari millet yang berbeda
(missal Yahudi dengan Islam atau Kristen dengan Yahudi pen.). Dalam hal ini,
seorang hakim Muslim akan memimpin kasus dan ia akan memutuskan sesuai dengan
penilaian terbaik.
Selain HUKUM AGAMA, millet diberi kebebasan untuk
menggunakan BAHASA mereka sendiri, mengembangkan LEMBAGA mereka sendiri (GEREJA,
SEKOLAH dll), dan mengumpulkan pajak. Pemerintah Turki Utsmani hanya melakukan
kontrol atas millet melalui para pemimpin mereka. Para pemimpin millet wajib
melapor ke sultan. Jika ada masalah dalam sebuah millet, sultan akan
berkonsultasi dengan pemimpin millet. Secara teoritis, populasi Muslim di
Kerajaan Turki Utsmani juga merupakan millet, dengan sultan (raja) sebagai
pemimpin milletnya.
Sistem millet ini tidak berlangsung sampai akhir
Kerajaan Utsmani. Setelah kerajaan mulai mundur dan lemah pada tahun 1700-an
dan 1800-an, campur tangan EROPA di kerajaan pun menguat. Ketika organisasi
LIBERAL disahkan tahun 1800-an, sistem millet (ke-BHINNEKA-an) dihapuskan, dan
sistem pemerintahan sekuler (HUKUM MENURUT TAFSIR PENGUASA) ala Eropa lebih
ditonjolkan. Turki Utsmani dipaksa untuk menjamin “hak” agama minoritas,
padahal hakikatnya mengekang kebebasan mereka. Bukannya diizinkan untuk
memerintah diri mereka sesuai dengan aturan yang mereka tetapkan (ke-BHINNEKA-an),
semua kelompok agama dipaksa untuk mengikuti aturan yang sama yakni hukum
sekuler (ke SERAGAM-an). Hal ini menjadikan sebuah akhir yang menyebabkan
ketegangan umat beragama di kerajaan. Dan kemudian menjadi salah satu penyebab
genosida terhadap orang-orang Armenia di Perang Dunia I, hari-hari keruntuhan
Utsmani.
Penghapusan sistem millet oleh Eropa setelah
kejatuhan Turki Utsmani, adalah pengingkaran terhadap KEBERAGAMAN. Kaluk dlm
Panca Sila, kata BHINNEKA disetip, lalu diganti dengan kata SERAGAM. Maka
jadilah SERAGAM TUNGGAL IKA. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika, milik kita itu, itu
sudah sangat pas. Walau berbeda-beda tapi tetap (ber)SATU. Bisa juga diwalik Tunggal
Bhinneka Ika, walau bercita rasa SATU tapi sebetulnya ada keberagaman dan
perbedaan. Bersatu tak harus sama. Contoh yang paling nyata adalah sambel
terasi. Lombok yang pedes, garem yang asin dan terasi yang beraroma udang,
diulek dadi sambel yang nyamleng. Asinnya masih terasa, pedesnya amat nyata dan
rasa terasinya masih bisa dideteksi, ini terasi dari Juwana, Lasem atau
Cirebon. Contoh lain yang tak kalah nyamleng adalah Gado-gado Betawi. Sambel kacang berbeda dengan kacang panjang, ndak sama dengan emping, bukan telor rebus, bukan pula tomat, kecambah atawa brambang goreng. Tapi betapa mereka yang masing2 berbeda bisa tampil kompak dengan sedemikian lezatnya.
Jadi, para sedherek, yg ngomong bahwa Khilafah itu
bukan Panca Sila, otoriter, arab, FPI, PKS, memaksakan hukum syariah Islam
kepada non muslim, ya silahken mencoba melakukan kajian lagi.