Selasa, 12 April 2016

RADEN JANAKA ATAWA BUTA IJO ?

Itu hanya peran dalam drama 5 menitan

Rekayasa sosial, pemberdayaan masyarakat dalam bentuk rembugan antar manusia yang memanusiakan, selayaknya diterapkan dalam proses pembangunan. Ibarat keluarga, Kepala Daerah adalah bapak, pengayom, pelindung dan pemakmur masyarakat.



 Dia bukan maha raja diraja lalim a la Fir'aun yang dulu begitu berkuasa dan menentukan mati hidupnya rahayat kecil. Tapi kini setelah perannya sebagai pemain utama berakhir, dia sekarang menjadi kayak properti jazad kering.



Dalam rembugan itu, masing2 menyepakati betapa mulianya tujuan bersama guna meraih kebaikan lahir bathin, dunia dan akhirat. Apa saja yang menjadi perhatian, harapan dan kecemasan, dicermati dengan arif. Lalu secara bersama dan egaliter, disusun goalnya, targetnya, indikator penilaian keberhasilan, langkah2 kerjanya, juga sanksi atas pelanggaran kesepakatan. Bila kelak terjadi pelanggaran, maka akan amat jelas, langkah2 damai, sareh yang bakal dijalani oleh kedua belah pihak dengan suka rela. Pada hakikatnya, rakyat adalah manusia, bukan kumpulan serigala buas. Begitu pula pemimpinnya.



Dengan cara2 seperti ini, maka Kepala Daerah akan mampu menyelesaikan pekerjaan sulit tanpa gelutan dengan masyarakat yang dipimpinnya. Dia juga akan waspada, bahwa dhapukannya sebagai Janaka yang berpotensi melenceng jadi Buta Ijo, hanya sebatas drama 1 episode berdurasi 5 menit.

SI CANTIK DIJERAT LALU DIJUAL KE PIHAK A SING DAN A SENG

NYEBAL DARI PAKEM PROF. SOPOIKU
kisah cinta berbasis pencitraan berakhir sedih

Komikus jadul SOPOIKU, menciptakan komik berkisah kocak. Trick abadinya, dipakai oleh banyak pihak, baik wong goblog, wong pinter maupun wong ngawur, dari jaman awalin sampai akhirin.



Yang paling tersohor ialah cerita seorang pemuda jomblo yang ingin menggaet simpati seorang wanita cuantik. Pemuda jomblo membayar temannya untuk purak2 mencopet si cantik. Lalu, seolah tanpa sengaja, muncullah sang pahlawan, yang tak lain dan tak bukan, adalah pemuda jomblo itu. Sang Pahlawan berduel melawan pencopet. Pencopet kalah dan lari tunggang langgang. Si cantik amat terkesan dengan ke-gentleman-an pemuda jomblo. Mereka saling jatuh cinta, pacaran, menikah dan hidup bahagia ever after.



Di zaman akhir, trick itu dikenal sebagai modus pencitraan. Tapi ternyata di zaman edan ini, jebul para aktornya banyak yang nyebal dari pakem Prof Sopoiku. Teman bayaran si jomblo kurang puas dengan nilai honornya, lalu berkoar-koar di seribu media, membongkar tipuan kotor pemuda jomblo. Atau si gadis yang lama2 mudeng lalu merasa bahwa sang pahlawan tak lebih dari pemuda pahpoh, petugas partai yang cuma bisa cengengesan. Dia bukan Arjuna Lelananging Jagad. Bukan problem solver, bukan pendamai hati apalagi true lover.



Yang paling sadis adalah, kenyataan bahwa sang pahlawan ternyata seorang mucikari besar. Dia yang sedang mencari korbannya dengan berbagai modus untuk dijual ke pihak Asing dan A Seng.

Jumat, 01 April 2016

RETORIKA DOBOL KURO

AKU TAK BUTUH SORGA dan TAK TAKUT NORAKA
 
Serang mahasiswa fakultas teknik nuklir yang relijius tapi logis, mulai demen masuk ke pola pikir sufi. Kepada rekan2nya, dikatakan bahwa kebanyakan orang beragama dengan pola mirip budak atau pedagang. Katanya : “Ada sedherek yang mau beribadah, gara2 kepincut di-iming2-i benefit profit berupa pahala. Entah berupa surga yang "tajri min tahtihal anhaar" (yang mengalir sungai-sungai di bawahnya), yang ada bidadari yang huayu-ayu kayak Rumana. Lha disitu itu, kita "kholidiina fiiha abadaa" (berdiam disana sak jeg-nya alias abadi).



Atawa minimal dapet alam kubur yang nyaman dan luas kayak Pantai Gili Trawangan, Lombok. Inilah mindset beragama bertype bisnis, sodara-sodara”



Lalu dia meneruskan paparan ilmiahnya : “Ada lagi Kyai yang penakutnya setengah modiar kayak budak goblog. Takut melanggar larangan Tuhan, gara2 dia ngeper bila diguebugi di alam akhir(at). Takut kisinan di alam sana, kuatir kaluk tetangga2nya yang goblog2, yang dulu sering dikualiahi jebul surganya amat keren, sementara dia thenger2 di pojokan neraka. Naah, inilah pola beragama dengan type budak.”



Lalu dengan menata wajah tersenyum bijak a la dermawan, ia berkata : “Kalau aku, aku tak butuh syurga dan neraka. Aku beragama dengan logika dan kerenanya bisa terasa eklas.”



Setelah berkata begitu, ujug2 dia njenggirat sambil melihat jam tangannya : “Hwaduh, ini udah jam 8.45, nanti jam 9.00 saya ada tentamen. Dosen ngendika, bahwa ini tentamen strategis. Hambok mahasiswa paham bin ahli, nek tentamennya entuk F ya tetep ora lulus. Nek tentamen-nya oleh A atau B, wis ora usah ikut ujian, sudah tak anggep lulus cum laude. Sik ya para kanca, aku tak melu tentamen ndisik. Eman2 nek ora lulus. Semalem gue ndak tidur, gara2 nggethu belajar buat menghadapi tentamen ini, jee.”



Ternyata, filosof jempolan yang tak butuh syurga dan tak takut noraka, masih amat butuh butuh benefit profit berupa nilai A atau B kayak bisnis-men dan takut setengah modiar bila ndak lulus, kayak budak.