Rekayasa sosial, pemberdayaan masyarakat dalam bentuk rembugan antar manusia yang memanusiakan, selayaknya diterapkan dalam proses pembangunan. Ibarat keluarga, Kepala Daerah adalah bapak, pengayom, pelindung dan pemakmur masyarakat.
Dia bukan maha raja diraja lalim a la Fir'aun yang dulu begitu berkuasa dan menentukan mati hidupnya rahayat kecil. Tapi kini setelah perannya sebagai pemain utama berakhir, dia sekarang menjadi kayak properti jazad kering.
Dalam rembugan itu, masing2 menyepakati betapa mulianya tujuan bersama
guna meraih kebaikan lahir bathin, dunia dan akhirat. Apa saja yang
menjadi perhatian, harapan dan kecemasan, dicermati dengan arif. Lalu
secara bersama dan egaliter, disusun goalnya, targetnya, indikator
penilaian keberhasilan, langkah2 kerjanya, juga sanksi atas pelanggaran
kesepakatan. Bila kelak terjadi pelanggaran, maka akan amat jelas,
langkah2 damai, sareh yang bakal dijalani oleh kedua belah pihak dengan
suka rela. Pada hakikatnya, rakyat adalah manusia, bukan kumpulan
serigala buas. Begitu pula pemimpinnya.
Dengan cara2 seperti ini, maka Kepala Daerah akan mampu menyelesaikan pekerjaan sulit tanpa gelutan dengan masyarakat yang dipimpinnya. Dia juga akan waspada, bahwa dhapukannya sebagai Janaka yang berpotensi melenceng jadi Buta Ijo, hanya sebatas drama 1 episode berdurasi 5 menit.
Dengan cara2 seperti ini, maka Kepala Daerah akan mampu menyelesaikan pekerjaan sulit tanpa gelutan dengan masyarakat yang dipimpinnya. Dia juga akan waspada, bahwa dhapukannya sebagai Janaka yang berpotensi melenceng jadi Buta Ijo, hanya sebatas drama 1 episode berdurasi 5 menit.