Bapa Dharma Bakti, menikah dengan wanita anggun bernama Ibu Pertiwi.
Tapi, secara diam2, dia punya demenan seorang wanita hot ber-body
ndangdut. Sebagian gajinya dibocorkan untuk mbanjani demenannya itu.
Pendapatannya dipakai buat beli rumah untuk demenannya, blanja buat
perhiasan, tas, sepatu, pakaian, biaya listrik, air minum, jalan2,
nongkrong di cafe, piknik dll. Dia pun mulai pandai berbohong,
ber-lelamisan bahkan mengkhianati istrinya. Hari weton, foto wajah,
tanggal lahir, sirikan dan kareman serta rahasia2 pribadi istrinya,
dibocorkan suami, agar demenan itu berkesempatan menyanthet istrinya
dari segala penjuru. Tak seorangpun tahu kecurangan itu kecuali dirinya
dan istrinya, serta ibu2 arisan yang gigih mencarai bahan gusip. Tidak juga Pak Min tukang kebon, Yu Tum, Yu Mar dan Mbok
Raji para bedinde po neh Kang Toyib, si sopir.
Kepada dunia luar
dia tunjukkan secara artificial, sumpah setianya kepada sang istri.
Katanya : “Aku setia pada Ibu Pertiwi. Kelanggengan perkawinan kami
adalah harga mati.” Semua orang kagum, terharu dan ter-inspirasi oleh
ke-perwira-an suami ideal itu. Hanya Ibu Pertiwi herself yang merasa
ngenes, tapi tak berdaya. Betapa dia setiap saat menemukan kwitansi
pembelian dan pembayaran ini itu, yang bukan buat dirinya. Ticket
pesawat perjalanan tamasya, kwitansi nginep seminggu di resort eksotik
dst dst. Betapa dia juga sering menemukan pesan2 singkat mesra dari
suaminya ke seorang wanita atau sebaliknya. Komplit dengan “mmmuuah”.
Ibu Pertiwi sungguh bersusah hati. Kelanggengan perkawinannya
dirongrong oleh sang suami. Hatinya mulai ragu, apakah kelanggengan
perkawinan adalah sebuah harga mati, ataukah merupakan hasil perhitungan
untung rugi transaksional ? Demi keselamatan nasibnya, nafkahnya dan
biaya pendidikan anak2nya? Ber amr makruf nahi mungkar pada suami hanya
mampu dilakukan dengan cara bertidak-bersetuju dalam hati. Ucapan
nasehat apalagi action nyata, sudah tak brani dilakukannya lagi.
Posisinya sudah terlalu terpinggir. Doa2 yang kian rajin dilantunkan,
pengajian demi pengajian yang dihadirinya, makin mempertegas kelemahan
imannya.
Di luar sana, teman dekat Ibu Pertiwi, ibu2 se arisan
mulai ber empati. Mereka menganjurkan Ibu Pertiwi untuk mengajukan
tuntutan ke suami, bhawa seorang isteri yang ndak semestinya dibuat
mainan sahaja. Bila tuntutan tak digubris, ada hak buat bikin rumah
tangga baru yang lebih ayem tentrem. Sementara itu, pasukan Bodrex yang
lugu, Pak Min, Yu Tum, Yu Mar dan Mbok Raji serta Kang Toyib, dengan
gagah perwira, berikrar, bahkan bawa poster keliling kampung :
“Kelanggengan perkawinan kedua Bendara kami adalah harga mati. Jangan
kalian, hee para ekstrimis penghasut, cuba2 banyak bacut buat
mengusiknya.” Warga kampung yang lebih ndak mudeng akan jeroan keluarga
itu, malah ikut2an menangis terharu sambil ramai bertepuk tangan tanda
setuju.
Sementara gue, sebagai tukang rosok yang suka ider di
dekat rumah keluarga itu, tetep ngeman perkawinan mereka. Sayang setan2
penghuni hati bapa Dharma Bakti, malah dilestarikan dengan berbagai
ritual sihir hitam para dukun yang kini berpolitik. Mungkin sudah
saatnya Njeng Sunan Kalijaga himself, yang gemar tapa lelana brata,
jajah praja, milang kori, menyambung rasa, heart to heart, door to door,
turun tangan. Bukan sunan2 tiruan makelar politik. Bukan pula
ruhaniawan oportunis bayaran, ulama dunia yang papan kayu pelem-pun tak
sudi jadi peti matinya..
Bapa Dharma Bhakti perlu diruwat, agar
kebesaran mahluk di hatinya, digantikan oleh kebesaran Gusti Allah, Sang
Hyang Guru Jagad Nata Saha Sejati. Dengan cara itu segala macem res2,
rereged, energy negatip dan kesialan yang selama ini diberi kursi nyaman
dihatinya, bisa dikeluarkan lalu dikembalikan ke alamnya masing2 dengan
sukarela dan tanpa tukon yang ber-darah2.
Bila itu semua udah dilakuken, bulehlah kita semua buka bacut : "NKRI eh Kelanggengan Perkawinan adalah harga mati !"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar